Thursday 1 September 2016

REFERAT EPISTAKSI

BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari lubang hidung, rongga hidung atau nasofaring yang sering mencemaskan penderita serta para klinisi. Epistaksis bukan suatu penyakit, melainkan gejala dari suatu kelainan yang mana hampir 90 % dapat berhenti sendiri.1
Pada umumnya terdapat dua sumber perdarahan yaitu dari bagian anterior dan bagian posterior. Epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach atau dari arteri athmoidalis anterior. Sedangkan epistakasis posterior dapat berasal dari arteri sphenopalatina dan arteri ethmoid posterior. Kasus- kasus epistaksis kebanyakan terjadi pada daerah anterior septum nasi, dan dapat diatasi dengan kauterisasi. Namun, epistaksis posterior lebih memerlukan pendekatan yang lebih agresif termasuk metode posterior nasal packing dan endoscopic cauterization.2
Epistaksis biasanya terjadi tiba-tiba. Perdarahan mungkin banyak, bisa juga sedikit dan berhenti sendiri. Penderita selalu ketakutan sehingga merasa perlu memanggil dokter. Sebagian besar darah keluar atau dimuntahkan kembali. Pengobatan yang tepat pada kasus epistaksis adalah dilakukan penekanan pada pembuluh darah yang berdarah. Hampir 90% kasus epistaksis anterior dapat diatasi dengan tekanan yang kuat dan terus menerus pada kedua sisi hidung tepat diatas kartilago ala nasi. Bila hal ini tidak berhasil maka diperlukan tindakan-tindakan lain yang perlu dan dapat dilakukan. Sangat penting penatalaksanaan yang tepat pada kasus epistaksis agar tidak terjadi komplikasi atau bahkan kematian.
B.  Rumusan Masalah
1.    Bagaimana anatomi pembuluh darah rongga hidung?
2.    Menjelaskan definisi Epistaksis?
3.    Menjelaskan etiologi Epistaksis?
4.    Menjelaskan klasifikasi Epistaksis?
5.    Menjelaskan gambaran klinis dan pemeriksaan Epistaksis?
6.    Menjelaskan penatalaksanaan Epistaksis?
7.    Menjelaskan komplikasi Epistaksis?
8.    Menjelaskan diagnosis banding Epistaksis?
9.    Menjelaskan prognosa Epistaksis
C.  Tujuan Penulisan
Tujuan penyusunan referat ini adalah untuk mengetahui secara umum mengenai anatomi pembuluh darah rongga hidung, definisi, etiologi, klasifikasi, gambaran klinis, pemeriksaan, penatalaksanaan, komplikasi, diagnosis banding, dan prognosa pada epistaksis.





BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.  Anatomi Pembuluh Darah Rongga Hidung
Pembuluh darah utama di hidung berasal dari arteri karotis interna dan karotis eksterna. Arteri optalmika, yang merupakan cabang dari arteri karotis interna, bercabang dua menjadi arteri ethmoidalis anterior dan posterior. Cabang anterior lebih besar dibanding cabang posterior dan pada bagian medial akan melintasi atap rongga hidung, untuk mendarahi bagian superior dari septum nasi dan dinding lateral hidung. Arteri karotis interna bercabang menjadi arteri fasialis dan arteri maksilaris interna. Arteri fasialis memperdarahi bagian anterior hidung melalui arteri labialis superior.5
Arteri maksilaris interna di fossa pterigopalatina bercabang menjadi arteri sfenopalatina, arteri nasalis posterior dan arteri palatina mayor. Arteri sfenopalatina memasuki rongga hidung pada bagian posterior konka media, memperdarahi daerah septum dan sebagian dinding lateral hidung.4,5
Pada bagian anterior septum, anastomosis dari arteri sfenopalatina, palatina mayor, ethmoidalis anterior dan labialis superior (cabang dari arteri fasialis), membentuk plexus Kiesselbach atau Little’s area.4
Description: 305_f1

Gambar 2.1: Vaskularisasi hidung
Pada posterior dinding lateral hidung, bagian akhir dari konka media terdapat plexus Woodruff yang merupakan anastomosis dari arteri sfenopalatina, nasalis posterior dan faringeal asendens.5
Epistaksis anterior sering mengenai daerah plexus Kiesselbach. Epistaksis anterior lebih mudah terlihat sumber perdarahannya sehingga mudah diatasi dibandingkan epistaksis posterior. Batas yang membagi antara epistaksis anterior dan epistaksis posterior adalah ostium sinus maksilaris.5
B.  Definisi Epistaksis
Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung; merupakan suatu tanda atau keluhan bukan penyakit.3,4 Perdarahan dari hidung dapat merupakan gejala yang sangat menjengkelkan dan mengganggu, dan dapat pula mengancam nyawa. Faktor etiologi harus dicari dan dikoreksi untuk mengobati epistaksis secara efektif.4

C.  Etiologi Epistaksis
Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab-sebab lokal dan umum atau kelainan sistemik.4,6,7
1.    Lokal
a.    Trauma
Perdarahan dapat terjadi karena trauma ringan misalnya mengorek hidung, benturan ringan, bersin atau mengeluarkan ingus terlalu keras, atau akibat trauma yang lebih hebat seperti kena pukul, jatuh atau kecelakaan lalu-lintas. Selain itu juga bisa terjadi akibat adanya benda asing tajam atau trauma pembedahan.
b.    Infeksi
Infeksi hidung dan sinus paranasal, rinitis, sinusitis serta granuloma spesifik, seperti lupus, sifilis dan lepra dapat menyebabkan epistaksis.
c.    Neoplasma
Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya sedikit dan intermiten, kadang-kadang ditandai dengan mukus yang bernoda darah. Hemongioma, karsinoma, serta angiofibroma dapat menyebabkan epistaksis berat.
d.   Kelainan kongenital
Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis ialah perdarahan telangiektasis heriditer (hereditary hemorrhagic telangiectasia/Osler's disease). Pasien ini juga menderita telangiektasis di wajah, tangan atau bahkan di traktus gastrointestinal dan/atau pembuluh darah paru.
e.    Sebab-sebab lain termasuk benda asing dan perforasi septum.
Perforasi septum nasi atau abnormalitas septum dapat menjadi predisposisi perdarahan hidung. Bagian anterior septum nasi, bila mengalami deviasi atau perforasi, akan terpapar aliran udara pernafasan yang cenderung mengeringkan sekresi hidung. Pembentukan krusta yang keras dan usaha melepaskan dengan jari menimbulkan trauma digital. Pengeluaran krusta berulang menyebabkan erosi membrana mukosa septum dan kemudian perdarahan.
f.     Pengaruh lingkungan
Misalnya tinggal di daerah yang sangat tinggi, tekanan udara rendah atau lingkungan udaranya sangat kering.
2.    Sistemik
a.    Kelainan darah
Kelainan darah misalnya trombositopenia, hemofilia dan leukemia, ITP, diskrasia darah, obat-obatan seperti terapi antikoagulan, aspirin dan fenilbutazon dapat pula mempredisposisi epistaksis berulang.
b.    Penyakit kardiovaskuler
Hipertensi dan kelainan pembuluh darah, seperti pada aterosklerosis, nefritis kronik, sirosis hepatis, sifilis, diabetes melitus dapat menyebabkan epistaksis. Epistaksis akibat hipertensi biasanya hebat, sering kambuh dan prognosisnya tidak baik.
c.    Infeksi sistemik
Biasanya infeksi akut pada demam berdarah, influenza, morbili, demam tifoid dapat menyebabkan epistaksis.
d.   Gangguan hormonal
Pada wanita hamil, menarche dan menopause sering terjadi epistaksis, kadang-kadang beberapa wanita mengalami perdarahan persisten dari hidung menyertai fase menstruasi.
D.  Klasifikasi Epistaksis
Melihat asal perdarahan, epistaksis dibagi menjadi epistaksis anterior dan epistaksisi posterior.4
1.      Epistaksis anterior
Kebanyakan berasal dari pleksus Kisselbach di septum bagian anterior atau dari arteri etmoidalis anterior. Perdarahan pada septum anterior biasanya ringan karena keadaan mukosa yang hiperemis atau kebiasaan mengorek hidung hidung dan kebanyakan terjadi pada anak, seringkali berulang dan dapat berhenti sendiri.
Description: Ant




Gambar 2.2: Epistaksis anterior

2.      Epistaksis posterior
Description: Post

Dapat berasal dari arteri etmoidalis posterior atau arteri sfenopalatina. Perdarahan biasanya lebih hebat dan jarang dapat berhenti sendiri. Sering ditemukan pada pasien dengan hipertensi, arteriosklerosis atau pasien dengan penyakit kardiovaskular karena pecahna arteri sfenopalatina.
Gambar 2.3: Epistaksis posterior
E.  Gambaran Klinis Dan Pemeriksaan Epistaksis
Pasien sering menyatakan bahwa perdarahan berasal dari bagian depan dan belakang hidung. Perhatian ditujukan pada bagian hidung tempat awal terjadinya perdarahan atau pada bagian hidung yang terbanyak mengeluarkan darah.6
Kebanyakan kasus epistaksis timbul sekunder trauma yang disebabkan oleh mengorek hidung menahun atau mengorek krusta yang telah terbentuk akibat pengeringan mukosa hidung berlebihan. Penting mendapatkan riwayat trauma terperinci. Riwayat pengobatan atau penyalahgunaan alkohol terperinci harus dicari. Banyak pasien minum aspirin secara teratur untuk banyak alasan. Aspirin merupakan penghambat fungsi trombosit dan dapat menyebabkan pemanjangan atau perdarahan. Penting mengenal bahwa efek ini berlangsung beberapa waktu dan bahwa aspirin ditemukan sebagai komponen dalam sangat banyak produk. Alkohol merupakan senyawa lain yang banyak digunakan, yang mengubah fungsi pembekuan secara bermakna.7
Alat-alat yang diperlukan untuk pemeriksaan adalah lampu kepala, speculum hidung dan alat penghisap(bila ada) dan pinset bayonet, kapas, kain kassa.7
Untuk pemeriksaan yang adekuat pasien harus ditempatkan dalam posisi dan ketinggian yang memudahkan pemeriksa bekerja. Harus cukup sesuai untuk mengobservasi atau mengeksplorasi sisi dalam hidung. Dengan spekulum hidung dibuka dan dengan alat pengisap dibersihkan semua kotoran dalam hidung baik cairan, sekret maupun darah yang sudah membeku; sesudah dibersihkan semua lapangan dalam hidung diobservasi untuk mencari tempat dan faktor-faktor penyebab perdarahan. Setelah hidung dibersihkan, dimasukkan kapas yang dibasahi dengan larutan anestesi lokal yaitu larutan pantokain 2% atau larutan lidokain 2% yang ditetesi larutan adrenalin 1/1000 ke dalam hidung untuk menghilangkan rasa sakit dan membuat vasokontriksi pembuluh darah sehingga perdarahan dapat berhenti untuk sementara.4,6 Sesudah 10 sampai 15 menit kapas dalam hidung dikeluarkan dan dilakukan evaluasi.6
Pasien yang mengalami perdarahan berulang atau sekret berdarah dari hidung yang bersifat kronik memerlukan fokus diagnostik yang berbeda dengan pasien dengan perdarahan hidung aktif yang prioritas utamanya adalah menghentikan perdarahan. Pemeriksaan yang diperlukan berupa:6,7

1.      Rinoskopi anterior
Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior ke posterior. Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung dan konkha inferior harus diperiksa dengan cermat.
2.      Rinoskopi posterior
Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien dengan epistaksis berulang dan sekret hidung kronik untuk menyingkirkan neoplasma.
3.      Pengukuran tekanan darah
Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis hipertensi, karena hipertensi dapat menyebabkan epistaksis yang hebat dan sering berulang.
4.      Rontgen sinus dan CT-Scan atau MRI
Rontgen sinus dan CT-Scan atau MRI penting mengenali neoplasma atau infeksi.
5.      Endoskopi
Endoskopi hidung untuk melihat atau menyingkirkan kemungkinan penyakit lainnya
6.      Skrining terhadap koagulopati
Tes-tes yang tepat termasuk waktu protrombin serum, waktu tromboplastin parsial, jumlah platelet dan waktu perdarahan.


F.   Penatalaksanaan Epistaksis
Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu : menghentikan perdarahan, mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis. Kalau ada syok, perbaiki dulu kedaan umum pasien.4 Tindakan yang dapat dilakukan antara lain :4,7
1.    Perdarahan anterior
a.    Perbaiki keadaan umum penderita, penderita diperiksa dalam posisi duduk kecuali bila penderita sangat lemah atau keadaaan syok.
b.   
Pada anak yang sering mengalami epistaksis ringan, perdarahan dapat dihentikan dengan cara duduk dengan kepala ditegakkan, kemudian cuping hidung ditekan ke arah septum selama beberapa menit (metode Trotter).
Gambar 2.4: Metode Trotter
c.    Tentukan sumber perdarahan dengan memasang tampon anterior yang telah dibasahi dengan adrenalin dan pantokain/ lidokain, serta bantuan alat penghisap untuk membersihkan bekuan darah.
d.   Pada epistaksis anterior, jika sumber perdarahan dapat dilihat dengan jelas, dilakukan kaustik dengan larutan nitras argenti 20%-30%, asam trikloroasetat 10% atau dengan elektrokauter. Sebelum kaustik diberikan analgesia topikal terlebih dahulu.
e.    Bila dengan kaustik perdarahan anterior masih terus berlangsung, diperlukan pemasangan tampon anterior dengan kapas atau kain kasa yang diberi vaselin yang dicampur betadin atau zat antibiotika. Dapat juga dipakai tampon rol yang dibuat dari kasa sehingga menyerupai pita dengan lebar kurang ½ cm, diletakkan berlapis-lapis mulai dari dasar sampai ke puncak rongga hidung. Tampon yang dipasang harus menekan tempat asal perdarahan dan dapat dipertahankan selama 1-2 hari.
Gambar 2.5: Tampon anterior dan tampon rol anterior Description: 00
2.    Perdarahan posterior
a.    Perdarahan posterior diatasi dengan pemasangan tampon posterior atau tampon Bellocq, dibuat dari kasa dengan ukuran lebih kurang 3x2x2 cm dan mempunyai 3 buah benang, 2 buah pada satu sisi dan sebuah lagi pada sisi yang lainnya. Tampon harus menutup koana (nares posterior).



Untuk memasang tampon Bellocq, dimasukkan kateter karet melalui nares anterior sampai tampak di orofaring dan kemudian ditarik ke luar melalui mulut. Ujung kateter kemudian diikat pada dua buah benang yang terdapat pada satu sisi tampon Bellocq dan kemudian kateter ditarik keluar hidung. Benang yang telah keluar melalui hidung kemudian ditarik, sedang jari telunjuk tangan yang lain membantu mendorong tampon ini ke arah nasofaring. Jika masih terjadi perdarahan dapat dibantu dengan pemasangan tampon anterior, kemudian diikat pada sebuah kain kasa yang diletakkan di tempat lubang hidung sehingga tampon posterior terfiksasi. Sehelai benang lagi pada sisi lain tampon Bellocq dikeluarkan melalui mulut (tidak boleh terlalu kencang ditarik) dan diletakkan pada pipi. Benang ini berguna untuk menarik tampon keluar melalui mulut setelah 2-3 hari. Setiap pasien dengan tampon Bellocq harus dirawat.
Gambar 2.6: Tampon Bellocq




b.   

Sebagai pengganti tampon Bellocq dapat dipakai kateter Foley dengan balon. Balon diletakkan di nasofaring dan dikembangkan dengan air.
Gambar 2.7: Tampon posterior dengan Kateter Foley
c.    Di samping pemasangan tampon, dapat juga diberi obat-obat hemostatik. Akan tetapi ada yang berpendapat obat-obat ini sedikit sekali manfaatnya.
d.   Ligasi arteri dilakukan pada epistaksis berat dan berulang yang tidak dapat diatasi dengan pemasangan tampon posterior. Untuk itu pasien harus dirujuk ke rumah sakit.
G. Komplikasi Epistaksis
Dapat terjadi langsung akibat epistaksis sendiri atau akibat usaha penanggulangannya. Akibat pemasangan tampon anterior dapat timbul sinusitis (karena ostium sinus tersumbat), air mata yang berdarah (bloody tears) karena darah mengalir secara retrograd melalui duktus nasolakrimalis dan septikemia. Akibat pemasangan tampon posterior dapat timbul otitis media, haemotympanum, serta laserasi palatum mole dan sudut bibit bila benang yang dikeluarkan melalui mulut terlalu kencang ditarik.4,7
Sebagai akibat perdarahan hebat dapat terjadi syok dan anemia. Tekanan darah yang turun mendadak dapat menimbulkan iskemia otak, insufisiensi koroner dan infark miokard dan akhirnya kematian. Harus segera dilakukan pemberian infus atau transfusi darah.4
H.  Diagnosa Banding Epistaksis
Termasuk perdarahan yang bukan berasal dari hidung tetapi darah mengalir keluar dari hidung seperti hemoptisis, varises oesofagus yang berdarah, perdarahan di basis cranii yang kemudian darah mengalir melalui sinus sphenoid ataupun tuba eustachius.6
I.     Prognosa Epistaksis
Sembilan puluh persen kasus epistaksis anterior dapat berhenti sendiri. Pada pasien hipertensi dengan/tanpa arteriosklerosis, biasanya perdarahan hebat, sering kambuh dan prognosisnya buruk.4


BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
 Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung yang dapt berlangsung ringan sampai seius dan bila tidak segera ditolong dapat berakibat fatal. Pada umumnya terdapat dua sumber perdarahan yaitu dari bagian anterior dan bagian posterior. Epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach atau dari arteri athmoidalis anterior. Sedangkan epistakasis posterior dapat berasal dari arteri sphenopalatina dan arteri ethmoid posterior.
Pendarahan ini dapat berhenti sendiri atau sampai harus segera diberi pertolongan. Pada kasus yang berat, pertolongan harus dilakukan di rumah sakit dengan orang yang yang berkompetensi pada bidang ini.
Penentuan asal pendarahan pada kasus epistaksis sangat penting karena berkaitan dengan cara penatalaksanaannya. Untuk menghentikan pendarahan ini dapat dilakukan tampon anterior, kauterisasi dan tampon posterior.

Komplikasi pada pemasangan tampon anterior adalah sinusitis, air mata berdarah dan sptikemia. Sedangakan komplikasi pada pemasangan tampon posterior adalah otitis media, haemotympanum, laserasi palatum molle dan sudut bibir. Apabila terjadi perdarahan aktif pada saat perdarahan pada saat pemasangan tampon posterior maka dilakukan ligasi arteri.

No comments:

Post a Comment